Anwar Usman juga disebut melawan putusan MK lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan alasan bahwa tak semata berkaitan dengan jabatan, melainkan harkat, martabat, dan harga dirinya.
Dalam konpers tersebut, Anwar Usman dianggap telah melanggar Sapta Karsa Hutama tentang prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Upaya Anwar Usman untuk merebut kembali posisi Ketua MK pun dianggap sebagai bentuk pelanggaran etik.
Akibat tindakannya tersebut, Anwar Usman dinilai melanggar kode etik hakim, yang seharusnya menjadi contoh integritas dan moralitas dalam menjalankan tugasnya. Pelanggaran etik bagi seorang hakim, terutama seorang pemimpin lembaga peradilan seperti Ketua MK, tentu merupakan hal yang serius dan dapat merusak citra lembaga peradilan itu sendiri.
Sebagai pejabat yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas, independensi, dan martabat lembaga peradilan, pelanggaran etik yang dilakukan oleh Anwar Usman menunjukkan bahwa reformasi di bidang hukum dan peradilan masih memerlukan perbaikan yang berkelanjutan. Diperlukan langkah-langkah konkrit yang dapat mencegah terjadinya pelanggaran etik oleh para pejabat peradilan, serta penegakan sanksi yang tegas bagi setiap pelanggaran yang terjadi.
Selain itu, adanya pelanggaran etik oleh Anwar Usman dalam perkara ini juga menimbulkan prasangka negatif terhadap lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi tempat penegakan keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini, transparansi, akuntabilitas, dan independensi lembaga peradilan perlu diperkuat untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang dihasilkan dapat dipercaya dan tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik ataupun golongan tertentu.