Namun, di balik tujuan mulia itu, implementasi di lapangan seringkali jauh dari harapan, bahkan memunculkan masalah baru. Salah satu yang paling sering jadi sorotan adalah soal manipulasi data jarak. Nggak sedikit orang tua yang rela pindah domisili sementara, memalsukan alamat, atau bahkan membeli rumah di dekat sekolah impian demi memasukkan anaknya. Ini jelas mencederai prinsip keadilan yang ingin dibangun zonasi.
Kemudian, ada juga masalah kualitas guru dan fasilitas sekolah yang belum merata. Meskipun siswa dipaksa masuk ke sekolah terdekat, kalau kualitas gurunya belum bagus dan fasilitasnya minim, toh esensi pemerataan kualitas pendidikan itu jadi nggak tercapai. Anak-anak yang sebenarnya berpotensi tinggi, tapi rumahnya dekat dengan sekolah yang kualitasnya kurang, jadi terhambat pengembangannya. Ini menimbulkan dilema besar bagi orang tua dan siswa.
Masalah lainnya adalah ketersediaan daya tampung sekolah. Di beberapa daerah padat penduduk, jumlah sekolahnya terbatas, sementara jumlah anak usia sekolah sangat banyak. Akibatnya, meskipun sudah zonasi, tetap saja ada siswa yang tidak tertampung atau harus bersekolah sangat jauh dari rumahnya karena zonanya terlalu luas. Ini menunjukkan bahwa kebijakan sekolah zonasi tidak bisa berdiri sendiri, harus diiringi dengan pembangunan dan peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh.