Beberapa tahun belakangan ini, salah satu topik yang paling sering bikin heboh dunia pendidikan kita adalah sistem zonasi sekolah. Aturan ini, yang intinya memprioritaskan calon siswa berdasarkan jarak rumah ke sekolah, digadang-gadang sebagai solusi pemerataan pendidikan. Tujuannya mulia: biar nggak ada lagi sekolah favorit yang cuma diisi anak-anak dari kalangan tertentu, dan biar semua sekolah punya kesempatan yang sama untuk maju. Tapi, di lapangan, kok ya sering banget muncul masalah dan kontroversi? Jadi, sebenarnya, sistem zonasi ini solusi atau justru menciptakan masalah baru?
Awalnya, gagasan di balik sistem zonasi itu memang sangat idealis. Di banyak daerah, sekolah-sekolah unggulan seringkali hanya bisa diakses oleh siswa-siswa yang punya nilai tinggi atau dari keluarga mampu yang bisa membayar les mahal. Akibatnya, sekolah lain jadi "terbuang" dan kualitasnya makin merosot. Ketimpangan ini bikin jurang pemisah antar siswa makin lebar. Dengan zonasi, pemerintah ingin menciptakan pemerataan pendidikan yang lebih adil. Setiap anak punya hak belajar di sekolah terdekatnya, tanpa harus bersaing nilai atau berebut kursi.
Manfaat idealnya adalah: pertama, bisa mengurangi fenomena sekolah favorit dan non-favorit. Semua sekolah diharapkan punya siswa dengan latar belakang akademik yang beragam, sehingga tidak ada lagi stigma "sekolah buangan". Kedua, ini bisa mengurangi biaya dan waktu perjalanan siswa ke sekolah. Anak-anak jadi bisa jalan kaki atau naik sepeda, lebih dekat, lebih hemat, dan mengurangi kemacetan. Ketiga, ini mendorong orang tua untuk berpartisipasi aktif dalam memajukan sekolah di lingkungan terdekat mereka, karena toh anak-anak mereka akan bersekolah di sana.