Pada usia 24 tahun, Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang bangsawan Jawa. Meskipun menikah, Kartini tetap berjuang untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Dia membuka sekolah untuk perempuan di rumahnya dan berupaya menghapus tradisi poligami serta memperjuangkan hak perempuan untuk bersekolah. Meskipun hidupnya singkat, Ra Kartini telah meninggalkan warisan berharga bagi perjuangan emansipasi wanita di Indonesia.
Perjuangan Kartini tidak hanya terbatas pada lingkup lokal, tetapi juga mencapai tingkat nasional. Visi dan pemikiran Kartini telah menginspirasi banyak kaum perempuan untuk bangkit dan berjuang memperjuangkan hak-hak mereka. Pada tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan hari lahir Kartini sebagai Hari Kartini, yang diperingati untuk menghormati usahanya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Hari itu menjadi momentum penting bagi kaum perempuan Indonesia untuk merefleksikan perjuangan dan prestasi mereka serta meneruskan perjuangan Kartini untuk kesetaraan gender.
Bahkan setelah lebih dari seabad sejak meninggalnya, warisan Kartini masih terus menginspirasi generasi muda Indonesia. Banyak organisasi dan lembaga yang mengambil inspirasi dari perjuangan Kartini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kepemimpinan. Perjuangan Kartini menjadi semacam panduan bagi banyak perempuan yang ingin berjuang untuk hak-hak mereka sendiri.