Ketika bendera negara dikibarkan tidak sampai puncak tiang, melainkan di tengah-tengah, itu adalah pemandangan yang universal dan langsung dikenali sebagai tanda berkabung. Tradisi ini dilakukan untuk menghormati dan mengenang mereka yang telah wafat, baik itu tokoh penting negara, korban tragedi, atau hari berkabung nasional. Namun, di balik isyarat duka yang begitu familiar ini, tersimpan sejarah panjang yang berawal dari lautan dan pertempuran berabad-abad lalu.
Makna dan Simbolisme
Mengibarkan bendera setengah tiang bukan hanya sekadar menurunkan posisi bendera. Tindakan ini punya makna yang dalam. Secara simbolis, posisi bendera yang diturunkan memberi ruang "di atasnya" untuk bendera tak kasat mata, yaitu bendera duka. Ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa ada kehilangan besar yang menimpa bangsa, dan kehormatan tertinggi diberikan kepada mereka yang telah tiada. Bendera yang diturunkan juga bisa diartikan sebagai tanda bahwa bendera itu sendiri sedang berduka, tidak berkibar penuh dengan kebanggaan seperti biasanya, melainkan ikut tunduk dalam kesedihan.
Tradisi ini bisa dilakukan untuk berbagai alasan, seperti:
- Kematian kepala negara atau tokoh penting.
- Peringatan tragedi nasional atau serangan teroris.
- Hari berkabung nasional yang ditetapkan untuk menghormati pahlawan atau korban perang.
- Kematian anggota militer yang gugur dalam tugas.
Teori dan Kisah Awal dari Lautan
Asal usul paling umum dari tradisi mengibarkan bendera setengah tiang berakar pada etika kelautan pada abad ke-17. Pada masa itu, bendera adalah simbol kedaulatan yang sangat penting bagi kapal. Salah satu kisah yang paling sering diceritakan adalah insiden yang terjadi pada tahun 1612. Sebuah kapal Inggris yang kembali dari perjalanan berbahaya di laut dengan salah satu awak kapalnya meninggal, memutuskan untuk menurunkan benderanya sebagai tanda penghormatan.