Stigma juga bersifat tidak adil dan sering kali tidak berdasar. Ia menggeneralisasi satu karakteristik negatif menjadi seluruh identitas seseorang. Contoh paling nyata adalah stigma terhadap orang yang pernah dipenjara. Setelah keluar, meskipun sudah menjalani hukuman, mereka tetap sulit diterima kembali oleh masyarakat karena stigma yang melekat. Stigma adalah pandangan yang dangkal dan berfokus pada kekurangan, bukan pada keseluruhan pribadi seseorang.
Paradigma: Kerangka Berpikir dan Cara Pandang Kolektif
Berbeda dengan stigma yang fokus pada label negatif, paradigma adalah kerangka berpikir, model, atau cara pandang yang digunakan oleh sekelompok orang untuk memahami realitas. Paradigma adalah "aturan main" atau "lensanya" yang memandu bagaimana kita melihat dan menafsirkan dunia. Istilah ini sering digunakan dalam dunia ilmiah dan filsafat, tetapi juga relevan dalam konteks sosial dan budaya.
Seorang ilmuwan fisika pada abad ke-19 menggunakan paradigma Newton (hukum gerak dan gravitasi) untuk menjelaskan fenomena alam. Ketika paradigma ini tidak lagi mampu menjelaskan temuan baru (seperti kecepatan cahaya), paradigma baru, yaitu teori relativitas Einstein, muncul dan menggantikannya. Ini menunjukkan bahwa paradigma itu bisa berubah atau bergeser (paradigm shift).
Dalam konteks sosial, paradigma adalah kumpulan asumsi, nilai, dan keyakinan yang dianut bersama oleh suatu masyarakat. Misalnya, paradigma patriarki adalah kerangka berpikir yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan, memengaruhi peran gender, struktur keluarga, dan kebijakan sosial. Masyarakat yang menganut paradigma ini akan cenderung menganggap wajar jika perempuan punya peran terbatas.
Paradigma tidak selalu negatif seperti stigma. Ia bisa netral atau bahkan positif. Misalnya, paradigma kesehatan publik yang modern menganggap pencegahan penyakit lebih penting daripada pengobatan. Paradigma ini membentuk kebijakan kesehatan, promosi hidup sehat, dan cara kita berinteraksi dengan layanan kesehatan.