Perundungan, atau bullying, adalah isu yang terus menghantui dunia pendidikan. Meskipun berbagai kampanye dan kebijakan anti-perundungan telah digalakkan, kenyataannya, Masalah ini masih sulit diberantas sepenuhnya dari lingkungan sekolah. Kasus-kasus perundungan, baik verbal, fisik, maupun siber, terus bermunculan, meninggalkan luka mendalam bagi para korban. Mengapa masalah ini terletak pada kompleksitas faktor yang saling berkaitan, mulai dari kurangnya pemahaman hingga ketidakmampuan sistem untuk merespons secara efektif.
Kurangnya Kesadaran dan Empati dari Berbagai Pihak
Salah satu hambatan terbesar dalam memberantas perundungan adalah kurangnya kesadaran dan empati. Sering kali, perundungan dianggap sebagai kenakalan remaja biasa atau "candaan" yang tidak berbahaya. Pemahaman yang keliru ini membuat banyak orang, termasuk guru, orang tua, dan bahkan siswa lain, cenderung meremehkan atau mengabaikan tindakan tersebut. Mereka mungkin tidak menyadari dampak psikologis yang parah pada korban, seperti trauma, depresi, atau kecemasan yang bisa bertahan hingga dewasa.
Di sisi lain, kurangnya empati pada pelaku perundungan juga menjadi masalah. Pelaku sering tidak bisa merasakan atau memahami rasa sakit yang mereka timbulkan. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti masalah di rumah, rasa tidak aman pada diri sendiri, atau keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan perhatian. Tanpa adanya kesadaran akan dampak dan kemampuan untuk berempati, siklus perundungan akan terus berlanjut.
Peran Pasif Saksi dan Lingkaran Diam
Perundungan tidak hanya melibatkan pelaku dan korban, tetapi juga para saksi. Sayangnya, banyak saksi yang memilih untuk diam atau tidak bertindak. Mereka mungkin takut menjadi target berikutnya jika mencoba membela korban, atau mereka merasa tidak memiliki kewajiban untuk ikut campur. Lingkaran diam ini justru memperkuat posisi pelaku, yang merasa tindakannya tidak akan mendapat konsekuensi.