Setiap orang tua memiliki gaya unik dalam membesarkan anak-anaknya. Dua pola asuh yang sering menjadi sorotan adalah pola asuh otoriter dan pola asuh demokratis. Keduanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dan, tentu saja, hasil yang beragam pada perkembangan anak. Memahami perbedaan mendasar antara kedua pendekatan ini dapat membantu orang tua merefleksikan gaya pengasuhan mereka dan dampaknya.
Pola Asuh Otoriter: Aturan Ketat dan Harapan Tinggi
Pola asuh otoriter dicirikan oleh kontrol yang tinggi dan tuntutan yang ketat terhadap anak. Orang tua yang menerapkan pola ini cenderung menetapkan banyak aturan dan mengharapkan kepatuhan mutlak tanpa banyak ruang untuk negosiasi atau penjelasan. Komunikasi dalam pola asuh otoriter umumnya satu arah: dari orang tua ke anak.
Ciri-ciri utama pola asuh otoriter meliputi:
- Aturan yang Tidak Fleksibel: Orang tua percaya bahwa aturan harus dipatuhi tanpa pertanyaan.
- Hukuman Keras: Konsekuensi atas pelanggaran seringkali berat dan bertujuan untuk menimbulkan rasa takut agar anak tidak mengulangi kesalahan.
- Kurangnya Kehangatan Emosional: Meskipun orang tua peduli, ekspresi kasih sayang atau dukungan emosional mungkin terbatas.
- Sedikit Ruang untuk Pendapat Anak: Opini atau keinginan anak jarang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan keluarga.
- Standar Tinggi: Harapan terhadap prestasi akademik dan perilaku sangat tinggi.
Dampak pada Anak: Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung patuh di hadapan figur otoritas, namun mereka mungkin kurang memiliki inisiatif, kreativitas, atau kemampuan mengambil keputusan secara mandiri. Beberapa penelitian menunjukkan anak-anak ini rentan terhadap kecemasan, depresi, atau perilaku agresif terpendam. Mereka mungkin juga mencari validasi dari luar dan kesulitan menghadapi kegagalan karena takut akan hukuman.