Ketiga, keberadaan vila-vila ilegal yang tumbuh pesat di Bali juga berdampak negatif terhadap hunian hotel. Banyak wisatawan yang lebih memilih untuk menginap di vila-vila ini yang sering kali menawarkan harga lebih terjangkau dibandingkan dengan hotel-hotel resmi. Terakhir, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah pusat turut memperburuk kondisi ini. Keputusan tersebut berimbas pada sektor perhotelan di Bali yang sangat bergantung pada kegiatan seminar, konferensi, dan acara lain yang dikenal dengan istilah MICE (Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions).
Salah satu kawasan yang paling terdampak oleh penurunan okupansi ini adalah Nusa Dua di Kabupaten Badung, di mana penurunan tingkat hunian dikabarkan mencapai antara 10 hingga 12 persen. Hal ini sangat berkaitan dengan seberapa banyak kegiatan MICE yang dapat diadakan di kawasan tersebut. Meski demikian, Prof. Tjok Oka juga mencatat bahwa kawasan lain seperti Sanur di Denpasar dan Ubud di Gianyar masih menunjukkan kestabilan dalam tingkat okupansi.
Sebelumnya, di Jakarta juga dilaporkan adanya penurunan serupa dalam industri perhotelan. PHRI Jakarta bahkan memperingatkan bahwa dampak dari penurunan ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Namun, di Bali, beberapa pemilik usaha mulai memberikan pandangannya terkait isu PHK. Putu Ayu Astiti Saraswati, pemilik Toya Devasya Hot Spring, menegaskan bahwa hingga kini dirinya tidak melakukan PHK meskipun beberapa karyawan memilih untuk mengundurkan diri. Menurutnya, banyak pekerja Bali yang kini memilih untuk merantau ke luar negeri, termasuk bekerja di kapal pesiar.