Ia menekankan, salah satu tanda awal dari potensi penyimpangan atau praktik koruptif adalah keberadaan kegiatan yang tidak memiliki jejak dalam dokumen perencanaan formal. Jika sebuah kegiatan tidak bisa dilacak dalam RPJMD atau KUA-PPAS, maka dapat menimbulkan dugaan pelanggaran tata kelola anggaran.
“Di Blora, semua sudah terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Tidak ada ruang untuk kegiatan siluman,” tegas Irfan.
Sorotan KPK terhadap Pokir DPRD Blora muncul dalam rangka pelaksanaan Survei Penilaian Integritas (SPI), yang merupakan instrumen pengukuran tingkat integritas instansi publik. SPI ini mencakup tiga komponen utama, yaitu tanggapan dari internal birokrasi (ASN dan OPD), eksternal (pengguna layanan publik), dan pihak ketiga yang memiliki kewenangan pengawasan seperti aparat penegak hukum dan akademisi.
Meskipun nilai Monitoring Center for Prevention (MCP) Blora tercatat cukup tinggi, Irfan mengakui bahwa nilai SPI masih memerlukan perhatian khusus. Hal ini karena SPI juga bergantung pada persepsi dan pengalaman langsung dari para responden, yang tidak selalu menggambarkan kondisi administratif sesungguhnya.