Perusahaan tekstil tersebut sebenarnya memiliki pasar baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Namun, karena minimnya pesanan, pabrik kesulitan dalam menjual produk-produknya.
Dengan ditutupnya pabrik ini, jumlah pabrik TPT yang harus berhenti beroperasi di dalam negeri sejak awal 2024 pun bertambah. Ristadi juga mengungkapkan bahwa dampak PHK bagi para pekerja sangat menyedihkan. Mereka kehilangan sumber penghasilan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari, biaya sekolah, dan tagihan cicilan yang belum terbayarkan.
Ristadi juga menyampaikan bahwa para korban PHK merasa tertekan karena masalah keuangan yang menumpuk. Ia berharap agar pemerintah dapat segera mengatasi gelombang PHK yang masih terus terjadi.
Situasi ini juga menyebabkan banyak perusahaan TPT memberlakukan kerja hanya 3 hari dalam seminggu sebagai upaya untuk tetap bertahan. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya kondisi industri TPT di Indonesia saat ini.
Pemerintah sebagai regulator diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Dukungan dan kebijakan yang bersifat proaktif perlu diberikan untuk menjaga keberlangsungan industri TPT di Indonesia.