Lebih lanjut, eksplorasi terhadap pewarna alami juga terlihat dari cara SukkhaCitta menghadirkan warna merah dalam koleksi Pertiwi. Alih-alih menggunakan bahan kimia, warna tersebut dihasilkan dari ekstraksi kulit kayu (treebark). Bahan baku kulit kayu ini bukan diperoleh dengan merusak alam, melainkan berasal dari hasil kerja sama dengan industri furnitur lokal, memanfaatkan limbah kayu yang semula hanya menjadi sisa produksi. Dengan demikian, SukkhaCitta tidak hanya menciptakan warna alami yang memikat, tetapi juga memberi makna baru pada praktik pengolahan limbah, menjadikannya lebih bernilai sekaligus mengurangi potensi pencemaran lingkungan.
Selain fokus pada bahan baku dan teknik produksi, Anastasia juga menekankan aspek pemberdayaan sosial, terutama terhadap kelompok perempuan perajin. Melalui Rumah SukkhaCitta, ia membangun wadah yang berfungsi sebagai sekolah kerajinan dan pusat pelatihan vokasional. Para perajin yang selama ini sering berada di posisi rentan dalam industri fesyen, kini diberikan akses pada pengetahuan, keterampilan, serta ruang untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Mereka diajarkan teknik pewarnaan alami, cara menanam kapas, hingga kemampuan untuk menilai karya mereka dengan harga yang adil. Tujuannya adalah mengubah posisi mereka dari sekadar price taker, yang hanya menerima harga pasar, menjadi sosok yang memiliki kendali penuh atas nilai ekonomi dari karya yang dihasilkan.
Rumah SukkhaCitta kini telah hadir di lima wilayah di Indonesia, meliputi dua lokasi di Jawa Tengah, satu di Jawa Timur, satu di Bali, serta satu di Flores. Kehadiran rumah-rumah ini membuat SukkhaCitta semakin lekat dengan praktik fesyen berkelanjutan yang mengutamakan keseimbangan antara alam, budaya, dan masyarakat. Keberadaan Rumah SukkhaCitta juga memperkuat ekosistem kreatif yang mendukung lahirnya karya-karya otentik, di mana setiap busana bukan sekadar hasil produksi massal, melainkan buah dari perjalanan panjang pembelajaran dan penguasaan keterampilan para perajin.