Pada aksi tersebut, para buruh dan mahasiswa juga menyoroti kondisi para buruh, termasuk pekerja rumah tangga (PRT) yang masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Mereka menuntut agar nasib para buruh layak diperhatikan mengingat kontribusi mereka dalam mendorong perekonomian di daerah.
Selain itu, Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Yogyakarta juga menuntut pemerintahan yang baru untuk mencabut Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan mengganti regulasi ketenagakerjaan tersebut. Mereka menginginkan agar UU Nomor 13 Tahun 2023 tentang ketenagakerjaan kembali diberlakukan dan sistem kontrak serta outsourcing dihapuskan.
Tidak hanya itu, para buruh juga mengharapkan adanya realisasi program reforma agraria, pencabutan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, serta perlindungan yang lebih baik bagi buruh migran. Mereka juga menekankan perlunya adaptasi kebijakan ketenagakerjaan mengikuti perkembangan ekonomi kreatif dan memberikan upah yang lebih layak.
Terkait dengan upah minimum, mereka menuntut Pemda DIY untuk merevisi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2024 di wilayahnya minimal 15% lebih tinggi dari sebelumnya, karena upah minimum di DIY dinilai masih jauh di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berkisar Rp3,5 hingga Rp4 juta.