Dia bilang kandungan sulfur dari bensin bisa mencapai 500 ppm, sementara bioetanol jauh lebih rendah kandungan sulfurnya bisa hanya mencapai 50 ppm. Kondisi sulfur yang tinggi tentu akan mempengaruhi kualitas udara dan berdampak pada kesehatan manusia. Maka dengan pengembangan bioetanol diyakini bisa menekan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pada akhirnya, bakal menghemat anggaran negara untuk penyakit pernapasan hingga Rp 38 triliun. "Kita hitung di situ, kalau itu terjadi sulfur tadi dikurangin, itu akan mengurangi orang yang sakit ISPA. Dan itu juga (berdampak) kepada kesehatan (menghemat) sampai 38 triliun ekstra pembayaran BPJS," ungkapnya.
Menurut Luhut, saat ini pengembangan bioetanol sedang dilakukan Pertamina, yang diharapkan berjalan dengan baik sehingga bisa segera diterapkan. "Ini sekarang lagi proses dikerjakan Pertamina. Nah, kalau ini semua berjalan dengan baik, kita bisa menghemat lagi (anggaran negara)," kata Luhut.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini, setiap kendaraan bermotor yang ingin membeli BBM subsidi harus memiliki kartu elektronik khusus. Kartu ini akan mencatat seberapa banyak BBM subsidi yang telah dibeli oleh pengguna. Jumlah pembelian akan dibatasi sesuai dengan jenis kendaraan dan kategori pengguna, seperti kendaraan pribadi, kendaraan umum, atau kendaraan niaga. Hal ini bertujuan untuk mendorong penggunaan BBM bersubsidi secara efisien sesuai dengan kebutuhan riil pengguna.