Kasus ini bermula dari penandatanganan kontrak senilai hampir 30 juta dolar AS antara Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan Gabor Kuti dari Navayo. Namun, proses pengadaan ini diduga melanggar aturan karena tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa yang sah, dan adanya keterlibatan Anthony Thomas Van Der Hayden sebagai perantara sekaligus Tenaga Ahli Satelit di Kemenhan.
Navayo pun telah mengirimkan empat invoice yang ditagihkan kepada Kementerian Pertahanan, meski faktanya pengadaan satelit tersebut tidak disertai anggaran yang memadai hingga tahun 2019. Pada awal 2025, Indonesia bahkan harus membayar denda sebesar lebih dari 20 juta dolar AS setelah kalah dalam putusan arbitrase di Singapura.
Pemeriksaan lebih mendalam yang dilakukan oleh para ahli satelit Indonesia juga menemukan bahwa Navayo gagal membangun program user terminal sesuai kontrak, sehingga potensi kerugian negara mencapai sekitar 21 juta dolar AS.