Indonesia, dengan ribuan pulaunya dan curah hujan tropis yang melimpah, sering digambarkan sebagai negara yang kaya akan sumber daya air. Sungai-sungai besar mengalir, danau-danau luas membentang, dan setiap tahunnya, langit mencurahkan miliaran meter kubik air hujan. Ironisnya, di tengah kelimpahan ini, jutaan penduduk Indonesia masih bergulat dengan krisis air bersih. Fenomena ini bukan sekadar paradoks, melainkan cerminan dari kompleksitas masalah yang melibatkan manajemen, infrastruktur, perilaku, dan dampak perubahan iklim.
Distribusi yang Tidak Merata dan Akses Terbatas
Salah satu alasan utama di balik krisis air bersih di Indonesia adalah distribusi sumber daya air yang tidak merata. Meskipun secara agregat jumlah airnya besar, air tidak selalu tersedia di tempat dan waktu yang tepat. Pulau Jawa, misalnya, menampung lebih dari separuh populasi Indonesia, tetapi hanya memiliki sebagian kecil dari total sumber daya air nasional. Akibatnya, daerah padat penduduk sering mengalami defisit air, terutama saat musim kemarau.
Selain itu, masalah akses juga menjadi krusial. Air mungkin tersedia, tetapi belum tentu mudah dijangkau oleh masyarakat. Banyak daerah terpencil atau bahkan permukiman di perkotaan belum terlayani oleh jaringan air bersih perpipaan yang memadai. Warga terpaksa bergantung pada sumur dangkal yang rentan kekeringan atau tercemar, atau harus membeli air dengan harga yang tidak terjangkau.
Pencemaran Sumber Air yang Merajalela
Kelimpahan air di Indonesia seringkali diimbangi dengan tingkat pencemaran yang sangat tinggi. Sungai-sungai yang seharusnya menjadi sumber air baku bersih kini sering tercemar limbah domestik, industri, dan pertanian. Limbah rumah tangga yang tidak terkelola dengan baik, pembuangan sampah sembarangan ke sungai, serta penggunaan pestisida dan pupuk kimia berlebihan di pertanian, semuanya berkontribusi pada degradasi kualitas air.