Air yang tercemar tidak bisa langsung digunakan untuk kebutuhan minum atau sanitasi tanpa pengolahan intensif yang mahal. Akibatnya, meskipun volume air melimpah, air yang layak konsumsi menjadi langka. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan sumber air.
Infrastruktur yang Belum Optimal dan Tata Kelola yang Lemah
Permasalahan infrastruktur air bersih di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Banyak pipa air yang sudah tua dan bocor, menyebabkan kehilangan air yang signifikan dalam distribusi. Investasi untuk pembangunan dan pemeliharaan instalasi pengolahan air (IPA) serta jaringan pipa seringkali belum sebanding dengan kebutuhan. Akibatnya, kapasitas produksi air bersih tidak mampu mengejar laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan.
Selain itu, tata kelola sumber daya air yang lemah juga berkontribusi pada masalah ini. Koordinasi antarlembaga yang kurang, regulasi yang tumpang tindih, dan perencanaan yang belum terintegrasi seringkali menghambat upaya efektif dalam pengelolaan air. Konservasi daerah tangkapan air (catchment area) yang kritis sering terabaikan, menyebabkan berkurangnya debit air di hulu dan meningkatkan risiko banjir serta kekeringan di hilir.
Perubahan Iklim dan Perilaku Konsumtif
Dampak perubahan iklim semakin memperparah krisis air. Pola curah hujan yang tidak menentu, dengan musim kemarau yang lebih panjang dan intens serta musim hujan yang menyebabkan banjir bandang, mengganggu siklus alami ketersediaan air. Saat musim kemarau, banyak sumber air mengering, sementara saat musim hujan, air justru menjadi bencana daripada berkah karena minimnya infrastruktur penampungan dan pengelolaan air banjir.