Perbandingan antar-generasi selalu menarik, terutama ketika menyangkut kondisi ekonomi. Ada narasi yang berkembang bahwa Generasi Z (mereka yang lahir kira-kira antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an) menghadapi tantangan ekonomi yang lebih berat dibandingkan Generasi Milenial (lahir sekitar awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an) pada usia yang sama. Ini bukan sekadar anekdot, melainkan didukung oleh beberapa fakta dan tren ekonomi yang mendasar.
Meskipun setiap generasi menghadapi rintangan unik, data menunjukkan bahwa Gen Z, terutama yang baru memasuki angkatan kerja, berhadapan dengan kondisi ekonomi makro yang kurang menguntungkan dibandingkan Milenial di awal karier mereka.
Inflasi dan Biaya Hidup yang Melonjak
Salah satu bukti paling nyata adalah lonjakan inflasi dan biaya hidup yang signifikan. Ketika Milenial pertama kali merintis karier di awal 2000-an, harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok dan perumahan, cenderung lebih stabil dan terjangkau relatif terhadap pendapatan. Namun, Gen Z memasuki pasar kerja di tengah periode inflasi global yang tinggi, diperparah oleh disrupsi pasokan dan berbagai krisis ekonomi.
Harga sewa tempat tinggal, bahan makanan, transportasi, dan bahkan biaya pendidikan terus merangkak naik secara agresif. Ini berarti daya beli Gen Z lebih rendah. Penghasilan yang sama (atau bahkan sedikit lebih tinggi secara nominal) bagi Gen Z tidak memiliki kekuatan beli yang setara dengan Milenial di usia yang sama. Mereka harus mengeluarkan proporsi pendapatan yang jauh lebih besar untuk kebutuhan dasar, menyisakan lebih sedikit untuk tabungan atau investasi.
Beban Utang Pendidikan yang Semakin Berat
Pendidikan tinggi seringkali dianggap sebagai kunci mobilitas sosial dan ekonomi. Namun, bagi Gen Z, jalur ini datang dengan harga yang semakin mahal. Beban utang pendidikan cenderung lebih tinggi untuk Gen Z dibandingkan Milenial. Biaya kuliah terus meningkat jauh melampaui tingkat inflasi atau pertumbuhan upah, memaksa banyak siswa mengambil pinjaman yang lebih besar.