Tampang

Cermin Kejujuran di 100 Hari Kerja Kepala Daerah: Antara Data Agregat dan Realitas Lapangan

4 Jun 2025 10:28 wib. 42
0 0
Sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih mengikuti kirab ke Istana Kepresidenan, Jakarta, untuk dilantik pada, Kamis (20/2/2025).
Sumber foto: Google

Mengakui Kekurangan sebagai Fondasi Kemajuan

Memang, tidak ada bangsa yang sepenuhnya jujur; itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun, bangsa-bangsa besar di dunia bangkit dari reruntuhan dengan keberanian mengakui kekurangan secara terbuka. Jepang, misalnya, tidak bangkit dari kehancuran perang dengan memoles statistik, melainkan dengan kesadaran akan kegagalan dan tekad kuat untuk memperbaikinya, menjadikannya negara maju seperti sekarang. Kita harus mulai beralih dari narasi keberhasilan menuju narasi menghadapi kekurangan. Para pejabat, di setiap level birokrasi, perlu berani mengatakan, "Ya, program ini belum berhasil karena hambatannya adalah A, B, dan C." Kita harus menempatkan angka kebenaran di atas kepentingan, sekalipun secara politis mungkin tidak relevan.

Bahaya Memuja Data Agregat

Ada kecenderungan kolektif kita untuk "memuja" data agregat, bukan data terurai. Kita terpukau oleh angka-angka besar yang mengkilap, menjadikannya panggung glamor untuk mempertontonkan keberhasilan. Padahal, di balik tirainya, banyak cerita tak tersuarakan dan luka yang tak terdata. Data agregat menjadi primadona setiap kali melaporkan capaian program, menyebut 95 persen target tercapai, indeks kebahagiaan meningkat, atau angka kemiskinan menurun signifikan. Namun, kita enggan bertanya: 95 persen itu siapa? Kebahagiaan yang dirasakan siapa? Kemiskinan menurun di daerah mana? Yang ditampilkan hanyalah satu wajah besar, sementara wajah-wajah kecil di baliknya memucat.

Melihat Realitas di Balik Rerata

Kita lebih senang membicarakan berapa banyak masyarakat yang telah terbantu daripada siapa yang masih tertinggal. Kita gembira program pendidikan berhasil menjangkau 87 persen anak usia sekolah, namun abai terhadap 13 persen yang tertinggal dan mengapa mereka gagal terjangkau. Kita sering mengabaikan kegagalan karena yang diangkat hanya angka rerata. Padahal, rerata tidak pernah mewakili siapa pun. Ibaratnya, seseorang berdiri dengan satu kaki di atas api dan kaki lainnya di atas es; secara rata-rata, suhu tubuhnya ideal, namun ia sedang menghadapi kematian. Data rerata memang penting untuk keputusan makro, tetapi kita harus berhenti "memujanya" dan mulai menghormati kenyataan.

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

Jokowi Mau Gebuk PKI yang Mana?
0 Suka, 0 Komentar, 19 Mei 2017

POLLING

Dampak PPN 12% ke Rakyat, Positif atau Negatif?