Libya, yang merupakan anggota OPEC, telah melampaui target produksi minyak mereka dengan mencapai 1,067 juta barel per hari pada Minggu. Hal ini terjadi setelah pemerintah timur negara tersebut mencabut blokade pada tanggal 3 Oktober, yang sebelumnya telah memberikan tekanan pada produksi dan ekspor minyak Libya. Volume produksi yang lebih tinggi ini akan memberikan dampak signifikan terhadap pasokan minyak global, yang sudah sedang menyesuaikan diri dengan permintaan yang terus menurun akibat dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.
Sebelumnya, produksi minyak Libya telah anjlok drastis dari level biasanya, yaitu sekitar 1,2 juta barel per hari, hingga di bawah 450,000 pada bulan Agustus. Hal ini terjadi setelah terjadinya gejolak politik yang mengakibatkan pemerintah barat yang diakui PBB memberhentikan gubernur bank sentral, yang selanjutnya memicu perintah penghentian produksi minyak oleh pihak yang berkuasa di wilayah timur Libya.
Sementara itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) merencanakan untuk secara bertahap mengurangi pemotongan produksinya mulai akhir tahun ini. Namun, situasi tersebut diperparah dengan konflik yang semakin meningkat di Timur Tengah, yang membuat harga minyak mentah naik pada Senin. Brent di London bahkan telah mengalami kenaikan hingga 11% dalam seminggu terakhir, mendekati angka US$80 per barel.
Libya merupakan salah satu produsen minyak terbesar di Afrika, namun produksi dan ekspor minyak mereka sering kali terganggu akibat pertikaian politik internal yang melibatkan pihak-pihak yang berseberangan yang berebut kendali atas sektor minyak, yang merupakan sumber utama pendapatan negara ini. Konflik politik selalu menjadi ancaman bagi kestabilan produksi minyak di negara ini, dan hal ini secara langsung berdampak pada pasokan minyak global.