Tidak hanya angka total yang mengkhawatirkan, tetapi juga pola yang terlihat berdasarkan usia. Angka bunuh diri meningkat seiring bertambahnya usia, mencapai level tertinggi 59,5 per 100.000 jiwa untuk mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Mereka yang berusia 70-an juga menunjukkan angka yang tinggi, yaitu 39 per 100.000 jiwa. Ini menunjukkan adanya tantangan khusus untuk populasi lanjut usia yang mungkin menghadapi isolasi sosial, kehilangan, atau kondisi kesehatan yang memburuk.
Lebih jauh lagi, tingkat bunuh diri di Korea Selatan mencatatkan angka paling tinggi di antara negara-negara anggota OECD. Pada tahun 2021, tingkat bunuh diri Korea Selantan berhasil mencatatkan angka 24,3 per 100.000 jiwa, meninggalkan Lithuania yang berada di posisi kedua dengan angka 18,5 dan Slovenia dengan 15,7. Sementara itu, sebagian besar negara di OECD melaporkan tingkat bunuh diri di bawah 15, sebuah fakta yang menunjukkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi oleh Korea Selatan.
Laporan ini menunjukkan bahwa selain angka bunuh diri yang mengkhawatirkan, hubungan keluarga juga semakin memburuk. Di Korea Selatan, keluarga sering diharapkan berfungsi sebagai sistem dukungan sosial utama. Namun, seiring dengan perubahan sosial yang cepat, banyak individu merasa semakin terasing dari orang tua, saudara, dan pasangan mereka. Dinamika ini menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi kesejahteraan mental masyarakat dan berkontribusi pada angka bunuh diri yang terus meningkat.
Sebagai negara dengan populasi yang relatif homogen, Korea Selatan mengalami kesulitan dalam mencari solusi yang efektif untuk permasalahan ini. Banyak inisiatif telah diluncurkan untuk mengurangi angka bunuh diri, mulai dari program pendidikan kesehatan mental hingga kampanye sosial untuk meningkatkan kesadaran. Namun, tantangan untuk mengubah stigma seputar kesehatan mental dan mendorong individu untuk mencari bantuan masih sangat besar.