Kelompok mahasiswa pro-pemerintah dituduh menyerang para pengunjuk rasa, dan polisi rutin menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah kerumunan, mengakibatkan ribuan orang terluka dan puluhan tewas. Meskipun ada larangan demonstrasi dan pertemuan publik, kelompok mahasiswa tetap turun ke jalan pada hari Jumat. Suara tembakan dan granat kejut terdengar dari daerah-daerah dekat universitas di Dhaka.
Kerusuhan yang semakin meluas menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan Hasina. Para pengunjuk rasa menuntut diakhirinya pembunuhan mahasiswa serta menyerukan pengunduran dirinya. Hasina telah memerintahkan penutupan semua universitas dan perguruan tinggi tanpa batas waktu setelah bentrokan tersebut.
Dalam pidatonya, ia mengecam "pembunuhan" mahasiswa yang tewas dalam protes dan berjanji akan menegakkan keadilan, mendesak untuk menunggu putusan mahkamah agung mengenai sistem kuota. Namun, ini tidak banyak meredakan kerusuhan. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa pemerintah tidak mampu menekan kekacauan yang terjadi.
Hasina sebelumnya dituduh memperburuk ketegangan setelah membela kuota dan tampaknya menyebut pengunjuk rasa sebagai "razakar", sebuah istilah menghina yang berarti mereka yang mengkhianati negara dengan berkolaborasi dengan musuh, Pakistan, selama perang kemerdekaan.
Sistem kuota yang memicu protes tersebut telah dihapus pada tahun 2018 tetapi dihidupkan kembali bulan lalu setelah keputusan pengadilan, memicu kemarahan di kalangan mahasiswa. Sekitar 40% pemuda di Bangladesh menganggur karena ekonomi merosot pasca-Covid, dan pekerjaan pemerintah dianggap sebagai salah satu dari sedikit cara untuk mendapatkan pekerjaan yang aman.