"Ohira berharap ada rumah sakit yang lebih dekat dan bisa diandalkan," ungkapnya. Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh suaminya yang mengatakan bahwa sedikit keterlambatan dalam kondisi darurat bisa sangat berisiko bagi ibu dan bayi.
Tantangan Pascapersalinan yang Tak Kalah Berat
Setelah proses persalinan, ibu-ibu baru di daerah tersebut menghadapi tantangan lain yang tidak kalah rumit. Tidak adanya fasilitas dukungan untuk ibu baru, seperti layanan deteksi dan perawatan depresi pascamelahirkan, menjadi persoalan besar. Pemerintah daerah telah berusaha meningkatkan subsidi untuk transportasi dan akomodasi bagi ibu hamil yang harus melahirkan jauh dari rumah. Namun, menurut Ohira, bantuan finansial saja tidak cukup.
Ia menambahkan bahwa keberadaan tempat konsultasi lokal dengan bidan berpengalaman atau perawat yang dapat mendengarkan keluhan ibu hamil akan sangat membantu mengurangi tekanan dan ketidakpastian yang mereka hadapi.
Selain itu, pasangan Ohira yang sebelumnya menjalani perawatan infertilitas merasakan minimnya dukungan bagi mereka yang berjuang untuk memiliki anak. Ini menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi Fukushima sebenarnya bukan kasus tunggal, melainkan fenomena yang juga terjadi di kota-kota kecil lain di Jepang.
Tren Nasional: Krisis Layanan Kesehatan Persalinan di Pedesaan Jepang
Fenomena berkurangnya fasilitas persalinan bukan hanya terjadi di Fukushima, tapi menjadi tren nasional di Jepang. Di banyak kota kecil, angka kelahiran yang rendah dan kekurangan tenaga medis membuat rumah sakit harus memangkas layanan persalinan demi efisiensi. Sebagai akibatnya, warga di daerah-daerah tersebut harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan ibu dan anak.
Di luar tujuh kota besar di Fukushima, terdapat 52 kota dan desa yang kini tidak memiliki fasilitas persalinan sama sekali. Pemerintah daerah terus mendesak rumah sakit untuk tidak mengurangi layanan obstetri lebih jauh, menyadari bahwa keberadaan fasilitas kelahiran sangat penting untuk menjaga kelangsungan populasi lokal.