Fenomena ini juga terjadi di wilayah lain, seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pedagang China yang datang ke Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi juga menikah dengan penduduk setempat. Akibatnya, lahirlah komunitas peranakan Tionghoa, yang hingga kini masih eksis dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi di berbagai negara.
Dua Gelombang Besar Migrasi Orang China
Menurut sejarawan Zhuang Guotu, migrasi besar-besaran orang China terjadi dalam dua babak utama yang dipicu oleh permintaan tenaga kerja serta dinamika politik dan sosial di China sendiri.
1. Gelombang Migrasi Abad ke-16: Kolonialisme Eropa dan VOC
Pada abad ke-16, kolonialisme Eropa mulai berkembang pesat. Bangsa-bangsa Barat seperti Spanyol, Portugal, Belanda, dan Inggris membutuhkan tenaga kerja yang andal untuk mengelola wilayah jajahan mereka di Asia, Amerika, dan Afrika.
Saat itu, orang-orang China dikenal sebagai pekerja keras, ulet, dan pandai berdagang. Hal ini membuat mereka sangat diminati oleh para penguasa kolonial. Salah satu tokoh yang mendorong migrasi besar-besaran orang China adalah Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.
Ketika mendirikan Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1619, Coen ingin menjadikannya sebagai pusat perdagangan utama di Asia. Ia melihat orang China sebagai kelompok yang lebih ulet dan rajin bekerja dibandingkan penduduk pribumi. Oleh karena itu, ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi para imigran China untuk tinggal dan berdagang di Batavia.
Akibatnya, komunitas Tionghoa berkembang pesat di Batavia dan berbagai wilayah Nusantara. Mereka mendirikan kawasan pecinan (Chinatown), yang hingga kini masih dapat ditemukan di berbagai kota di Indonesia dan negara lainnya.
2. Gelombang Migrasi Abad ke-19: Penghapusan Perbudakan dan Krisis di China
Gelombang migrasi kedua terjadi pada pertengahan abad ke-19. Kali ini, perpindahan besar-besaran orang China ke luar negeri dipicu oleh dua faktor utama: