Hakamada, yang pernah dikenal sebagai petinju, harus menjalani pengalaman pahit akibat interogasi yang keras selama 20 hari, di mana dia mengaku bersalah karena tekanan dari penyidik. Namun, dia kemudian mencabut pengakuan tersebut di pengadilan pertama karena merasa telah dianiaya dalam prosesnya. Ini mencerminkan masalah yang lebih luas dalam sistem peradilan pidana di Jepang, di mana terdapat banyak laporan tentang penyiksaan selama interogasi untuk memaksa pengakuan.
Kasus Hakamada bukanlah yang pertama di Jepang. Dia adalah terpidana mati kelima yang diadili ulang dalam sejarah pascaperang negara tersebut, dan keberhasilannya berpotensi mengubah cara pengadilan menangani kasus-kasus serupa di masa depan. Sebelumnya, empat kasus lainnya juga berujung pada pembebasan terpidana, menunjukkan bahwa kesalahan dalam proses penegakan hukum di Jepang adalah masalah yang serius yang perlu ditangani dengan lebih serius.
Komitmen Jepang untuk memberikan kompensasi kepada Hakamada ini mengindikasikan langkah maju dalam mengevaluasi kembali keadilan dalam sistem hukum mereka. Meski demikian, banyak pihak masih mempertanyakan integritas dan keadilan sistem peradilan pidana, yang terus menarik perhatian masyarakat dan aktivis hak asasi manusia baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan sejarah panjang kesalahan hukum dan kritik terhadap praktek interogasi, penting bagi Jepang untuk terus melakukan reformasi demi menciptakan sistem yang lebih baik dan lebih adil bagi semua warganya.