Sebagai contoh, Jepang, yang merupakan salah satu anggota G-7, telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan menargetkan untuk menutup semua pembangkit listrik tenaga batu bara yang usianya lebih dari 40 tahun. Keputusan ini sejalan dengan upaya global untuk beralih ke energi terbarukan guna mengurangi emisi karbon.
Implementasi kesepakatan ini tentu akan menimbulkan dampak yang signifikan bagi perekonomian global. Meskipun pembangunan PLTU batu bara memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, namun harus diakui bahwa dampak lingkungan yang dihasilkan jauh lebih besar. Oleh karenanya, penghentian pendanaan proyek-proyek PLTU batu bara di luar negeri dan penutupan PLTU batu bara pada tahun 2035 merupakan langkah yang sangat penting.
Selain itu, keputusan G-7 ini juga membuka peluang besar bagi pengembangan energi terbarukan. Dari panel surya hingga turbin angin, teknologi energi terbarukan semakin matang dan efisien. Dengan membatasi akses terhadap pendanaan untuk PLTU batu bara, negara-negara yang berkembang dapat difasilitasi untuk mengadopsi energi terbarukan sebagai alternatif yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Namun, tentu saja, langkah ini juga memunculkan tantangan tersendiri. Terutama bagi negara-negara yang masih sangat bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama. Di sisi lain, keputusan ini juga memberikan kesempatan bagi negara-negara tersebut untuk mengembangkan dan mengadopsi teknologi energi terbarukan sehingga dapat melakukan transisi yang lebih mulus dari sumber energi konvensional.