"Studi baru ini merupakan salah satu yang pertama yang mengambil perspektif global tentang masalah ini," ujar Ploderl. Secara keseluruhan, ia mengatakan temuan pada hari kerja mungkin tidak akan terlalu relevan bagi dokter kesehatan mental dan program pencegahan bunuh diri, tetapi memahami hari libur mana yang berisiko lebih tinggi untuk bunuh diri dapat membantu mereka menyesuaikan layanan.
Sementara itu, O'Shea mengatakan hasil tersebut dapat memperkuat argumen untuk menambah staf hotline pencegahan bunuh diri dan sumber daya darurat lainnya pada sekitar periode berisiko tinggi, seperti Hari Tahun Baru.
"Jika kita mengetahui hal ini di tingkat epidemiologi atau populasi, itu berarti kita dapat menyediakan sumber daya untuk menyediakan dukungan yang mungkin dibutuhkan orang," kata O'Shea. "Itu dapat membantu mengurangi kematian [akibat bunuh diri]," pungkasnya.
Menurut data Global Burden of Disease Study 2016 yang diterbitkan oleh The Lancet, setiap tahun ada sekitar 800.000 orang yang menjadi korban bunuh diri di seluruh dunia. Dengan demikian, mengetahui pola dan faktor-faktor yang memengaruhi risiko bunuh diri menjadi sangat penting untuk program pencegahan dan intervensi yang efektif. Oleh karena itu, penelitian dan perhatian terhadap angka bunuh diri perlu terus diintensifkan guna mengurangi dampak tragis dari keputusan tersebut.