Yang membuat kasus ini semakin kompleks dan unik adalah tidak ditemukannya mutasi genetik yang biasanya dikaitkan dengan Alzheimer pada usia muda. Sebagai contoh, mutasi pada gen PSEN1 telah ditemukan pada beberapa pasien Alzheimer dini, seperti kasus sebelumnya yang menyerang seseorang pada usia 21 tahun. Namun, dalam kasus remaja 19 tahun ini, tidak satu pun dari gen risiko tersebut yang muncul.
Selain itu, pasien juga tidak memiliki riwayat cedera kepala, gangguan metabolisme, maupun gangguan psikologis berat yang sering diasosiasikan dengan demensia pada usia muda. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Alzheimer juga dapat muncul secara sporadis, yakni tanpa faktor keturunan maupun penyebab lingkungan yang jelas.
Fenomena langka ini menantang pemahaman konvensional tentang penyakit Alzheimer. Selama ini, penyakit ini lebih sering dikaitkan dengan penuaan dan genetik, namun kini terbukti bisa muncul tanpa sebab yang diketahui, bahkan pada individu yang masih berusia remaja. Hal ini membuka ruang diskusi baru dalam dunia neurologi dan ilmu saraf mengenai faktor-faktor pemicu Alzheimer yang belum teridentifikasi.
Para ilmuwan yang meneliti kasus ini juga menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan pemantauan jangka panjang terhadap pasien untuk menggali lebih dalam bagaimana penyakit ini berkembang sejak usia dini. Kasus ini dipandang sebagai peluang emas untuk memahami tahapan awal Alzheimer dan mencari tahu kemungkinan faktor baru yang berperan dalam perkembangannya.
Meski detail mengenai penanganan medis atau rencana pengobatan jangka panjang untuk pasien ini belum dijelaskan secara rinci, para peneliti menyatakan komitmen mereka untuk terus mendampingi pasien. Pendekatan yang akan diambil kemungkinan besar akan melibatkan pemantauan ketat, terapi kognitif, serta dukungan psikologis untuk menghadapi dampak emosional dan sosial dari penyakit ini.