Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan adalah salah satu proyek asuransi kesehatan terbesar di dunia. Ini adalah ambisi raksasa yang dilandasi prinsip mulia gotong royong. Tujuannya jelas: yang sehat membantu yang sakit, yang kaya menopang yang miskin.
Dalam satu dekade terakhir, program ini telah mencatat sukses besar secara kuantitas. Kartu hijau-putih BPJS Kesehatan kini telah ada di dompet mayoritas penduduk Indonesia. Namun, di balik capaian monumental itu, BPJS Kesehatan terus bergelut dengan tiga masalah kronis. Ini meliputi kualitas layanan, keadilan akses, dan "hantu" keuangan yang terus menghantui.
Ambisi Pemerataan JKN: Mayoritas Rakyat Terlindungi
Secara angka, BPJS Kesehatan adalah sebuah kisah sukses yang fenomenal. Pemerintah bahkan telah mengumumkan bahwa status Universal Health Coverage (UHC) hampir tercapai. Ini adalah indikator penting cakupan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk.
Per Oktober 2025, kepesertaan JKN telah melampaui 270 juta jiwa. Angka ini setara dengan lebih dari 96% total penduduk Indonesia. Ini adalah pencapaian logistik yang luar biasa dan patut diapresiasi UHC JKN, Jaminan Kesehatan Semua, Cakupan Kepesertaan JKN. Pemerataan ini sangat didorong oleh segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI). Negara membayarkan iuran bulanan untuk puluhan juta warga miskin dan tidak mampu melalui APBN dan APBD. Tujuannya adalah memastikan tidak ada lagi WNI yang tidak bisa berobat karena ketiadaan biaya. Secara administrasi, ambisi pemerataan ini memang sudah hampir tuntas.
Ketika Kartu Sehat Tak Selalu Menjamin Layanan Prima
Di sinilah letak masalah sesungguhnya yang kerap dirasakan masyarakat. Memiliki kartu BPJS adalah satu hal, namun mendapatkan layanan berkualitas adalah hal lain. Ada berbagai halangan berlapis yang perlu kita hadapi. Ini menguji kesabaran dan keyakinan pada sistem.
Keluhan paling klasik dan paling banyak dirasakan adalah antrean panjang seperti "ular naga". Baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Faskes I) seperti Puskesmas, maupun di rumah sakit. Pasien harus rela menghabiskan waktu berjam-jam. Terkadang bahkan harus mendaftar sejak subuh, hanya untuk mendapatkan layanan kesehatan. Ini tentu membuang waktu dan energi.