Yang lebih mengkhawatirkan, laporan PBB mengungkapkan bahwa bahkan sebelum krisis pemangkasan bantuan ini, laju penurunan angka kematian ibu sudah melambat sejak 2016. Pada tahun 2023 saja, tercatat satu perempuan meninggal setiap dua menit akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Ini berarti, dalam satu tahun, sekitar 260.000 perempuan kehilangan nyawa karena masalah yang sebetulnya bisa dicegah dan diobati dengan intervensi medis yang tepat.
Dampak terparah dirasakan di negara-negara yang dilanda konflik, krisis kemanusiaan, atau bencana alam. Namun, ironi besar terjadi di Amerika Serikat sendiri — negara yang sebelumnya menjadi penyumbang besar dana kesehatan global — karena angka kematian ibu di negara itu justru meningkat tajam sejak tahun 2000. AS kini masuk ke dalam daftar bersama Venezuela, Republik Dominika, dan Jamaika, negara-negara yang mengalami lonjakan angka kematian ibu secara signifikan.
Pandemi COVID-19 semakin memperburuk situasi. Pada tahun 2021 saja, tercatat sekitar 40.000 kematian tambahan akibat kehamilan atau persalinan, meningkatkan total kematian ibu secara global menjadi sekitar 322.000 kasus. Gangguan terhadap layanan kesehatan, ketidakpastian ekonomi, serta keterbatasan akses ke fasilitas medis selama pandemi menjadi faktor penyumbang utama peningkatan tersebut.
Meskipun demikian, laporan PBB dan WHO tetap menunjukkan adanya secercah harapan. Peningkatan akses ke layanan kesehatan berkualitas terbukti efektif dalam menyelamatkan ratusan ribu nyawa. Solusi medis dan pendekatan berbasis komunitas sudah tersedia untuk mengatasi sebagian besar penyebab kematian ibu. Namun, semua solusi ini bergantung pada stabilitas pendanaan dan komitmen politik yang kuat dari negara-negara donor dan komunitas internasional.