Melalui kunjungan dan dialog langsung ini, beberapa hal terwujud:
pertama, memberikan pengakuan dan perhatian kepada diaspora Indonesia sebagai bagian dari bangsa, bukan sekadar warga negara yang “tinggal di luar”; kedua, menjalin kerja sama lintas negara melalui diaspora sebagai penghubung; dan ketiga, mendorong diaspora untuk membangun jejaring global yang berdampak positif bagi Indonesia.
Dalam pertemuan dengan pelajar Indonesia di Belanda pada Oktober 2025, Anies memberikan pesan tegas: jangan hanya bergaul dengan sesama orang Indonesia di luar negeri. Ia menantang mereka untuk memiliki teman dan jaringan internasional yang lebih luas. Ia bahkan menyarankan mahasiswa untuk membuat dua kolom daftar teman: satu dengan sesama Indonesia, satu lagi dengan non-Indonesia, lalu membandingkan jumlahnya. Ini bukan sekadar soal pertemanan, tetapi soal membangun modal sosial yang bisa memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional.
Langkah ini punya makna strategis: diaspora yang terhubung dengan jaringan global akan bisa membawa pulang ide, teknologi, kerja sama, dan bahkan investasi. Dengan demikian, keberadaan mereka di luar negeri menjadi “aset” nasional, bukan sekadar “pemenuhan kebutuhan individu”.
Dengan mendorong peran diaspora seperti ini, terdapat beberapa manfaat nyata yang dapat diraih Indonesia. Pertama, penguatan soft power kehadiran banyak warga Indonesia yang sukses di luar negeri, aktif dalam riset, budaya, dan industri global, bisa meningkatkan citra Indonesia di mata dunia. Anies menyebut bahwa meskipun Indonesia adalah bangsa besar, namanya belum sering disebut dalam diskusi global.
Kedua, kolaborasi lintas negara melalui jejaring diaspora, Indonesia bisa menjalin kerja sama riset, pendidikan, dan bisnis dengan negara lain. Contohnya, Anies menekankan peluang di Taiwan untuk pelajar Indonesia dalam teknologi dan semikonduktor. Ketiga, reputasi dan kebanggaan nasional ketika diaspora Indonesia berhasil dan mengangkat nama Indonesia, itu menciptakan kebanggaan nasional dan memperkuat ikatan diaspora dengan kampung halaman, sekaligus meminimalisir stigma “melupakan asal”.