Sebuah laporan dari Deloitte Korea pada tahun 2020 menyoroti peran penting toserba dalam kehidupan masyarakat urban Korea. Toserba bukan hanya tempat belanja, tetapi juga ruang sosial yang nyaman, di mana orang bisa duduk santai di antara deretan rak makanan dan minuman. Toko-toko ini juga menyediakan ruang makan sederhana yang menjadi tempat favorit para pekerja kantoran dan pelajar untuk makan siang.
Perkembangan pesat toserba juga didorong oleh urbanisasi tinggi di Korea Selatan, di mana lebih dari 80% penduduk tinggal di pusat kota. Gaya hidup cepat dan padat mendorong kebutuhan akan akses cepat terhadap berbagai kebutuhan sehari-hari. Dalam konteks ini, toserba menjadi solusi ideal yang praktis dan efisien.
Faktor demografi turut berperan. Populasi lajang di Korea semakin meningkat, dengan laporan McKinsey tahun 2021 menyebutkan bahwa 35% rumah tangga Korea dihuni oleh individu lajang. Kelompok ini cenderung menghindari memasak dan memilih solusi instan seperti berbelanja di toserba atau memesan makanan secara online. Mereka mencari efisiensi dalam waktu dan biaya, yang dengan cepat dijawab oleh keberadaan toserba.
Tren ini semakin diperkuat saat pandemi COVID-19 melanda. Perubahan pola belanja masyarakat ke arah digital dan minim interaksi sosial membuat toko kelontong lokal serta toserba semakin digemari. Perusahaan-perusahaan ritel pun mengambil kesempatan ini dengan membuka cabang di lokasi-lokasi strategis seperti di dekat stasiun, pusat hiburan, karaoke, dan galeri seni.
Pertumbuhan ini tercermin dalam angka. Dari tahun 2010 hingga 2021, pendapatan industri toserba di Korea melonjak lebih dari empat kali lipat, dari USD 5,8 miliar menjadi USD 24,7 miliar, mengalahkan penjualan supermarket dan department store tradisional, berdasarkan data Euromonitor yang dikutip oleh McKinsey.