Fenomena yang dikenal dengan sebutan 'Brain Rot' belakangan ini menjadi topik hangat di kalangan Generasi Z. Istilah ini secara informal digunakan untuk menggambarkan penurunan kemampuan kognitif yang terjadi akibat konsumsi berlebihan konten digital. Meskipun bukan merupakan kondisi medis resmi, 'Brain Rot' berfungsi sebagai metafora yang mencerminkan kemunduran mental yang dialami oleh banyak orang di era modern ini, terutama mereka yang terlalu bergantung pada teknologi.
Perkembangan teknologi saat ini telah menciptakan beragam platform media sosial yang menarik perhatian, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Setiap platform ini memanfaatkan algoritma yang canggih untuk menarik dan mempertahankan minat pengguna, sehingga menyebabkan mereka menghabiskan waktu yang lebih lama di dalamnya tanpa disadari.
Fenomena ini tidak hanya terbatas di Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian global. Menurut Senior Research Fellow dari Toronto Metropolitan University, Masoud Kianpour, adiksi internet atau yang sering disebut dengan 'candu digital' dapat berasal dari berbagai aktivitas, termasuk berbelanja daring, bermain game, judi online, hingga konsumsi pornografi.
Pada masa pandemi COVID-19, perilaku ini semakin meningkat. Pandemi memaksa masyarakat untuk mengisolasi diri, sehingga menggeser banyak aktivitas ke platform digital. Media sosial yang awalnya dianggap sebagai alat pemberdayaan individu dan penghubung antar-komunitas kini menjadi arena yang dipenuhi disinformasi. Kianpour menegaskan, meskipun media sosial memiliki banyak manfaat, mereka juga memberikan tantangan besar terhadap hubungan kita dengan fakta dan rasa percaya yang merupakan fondasi dari demokrasi yang sehat.