Namun, jika tisu dianggap tidak sebersih air, mengapa masyarakat Barat tetap menggunakannya?
Jawabannya terletak pada faktor iklim. Negara-negara Barat yang umumnya memiliki suhu dingin membuat masyarakatnya enggan bersentuhan langsung dengan air, apalagi dalam kondisi tanpa pemanas. Bayangkan saja betapa dinginnya air keran di musim salju. Inilah sebabnya, tisu dianggap sebagai solusi praktis dan nyaman.
Sebaliknya, masyarakat tropis seperti di Indonesia justru merasa kurang nyaman jika tidak bersentuhan dengan air saat cebok. Iklim panas membuat air terasa menyegarkan dan membantu menjaga kebersihan tubuh secara menyeluruh. Bahkan, tak sedikit yang merasa “belum bersih” jika hanya menggunakan tisu.
Faktor lain yang memengaruhi kebiasaan cebok adalah pola makan. Orang Barat cenderung mengonsumsi makanan rendah serat, seperti daging dan produk olahan, sehingga kotoran yang dihasilkan biasanya lebih padat dan sedikit mengandung air. Dengan kondisi ini, penggunaan tisu dirasa cukup untuk membersihkan sisa kotoran.
Berbeda dengan orang Asia, Afrika, dan sebagian wilayah Eropa Selatan yang lebih sering mengonsumsi makanan tinggi serat, seperti sayuran dan biji-bijian. Kotoran yang dihasilkan biasanya lebih lunak dan mengandung lebih banyak air, sehingga membutuhkan metode pembersihan yang lebih menyeluruh, yakni dengan air.
Meski sudah mengakar dalam budaya, penggunaan tisu sebenarnya memiliki kekurangan dari sisi higienitas. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan air dalam membersihkan area genital jauh lebih efektif dalam menghilangkan bakteri dan kotoran. Air mampu menjangkau area tersembunyi yang tidak dapat dibersihkan maksimal hanya dengan tisu.