Perbedaan cara membersihkan diri setelah buang air besar menjadi salah satu contoh nyata bagaimana budaya membentuk kebiasaan hidup manusia. Jika di Indonesia dan sebagian besar negara Asia penggunaan air untuk cebok dianggap hal biasa, maka di negara-negara Barat sebaliknya—tisu toilet menjadi pilihan utama. Namun, apa sebenarnya alasan di balik kebiasaan ini?
Fenomena ini tak sekadar persoalan pilihan pribadi, melainkan akumulasi dari sejarah panjang, faktor geografis, kondisi iklim, hingga pengaruh agama dan pola konsumsi. Dunia seakan terbagi dua dalam urusan toilet: tim air dan tim tisu. Bagi masyarakat Timur, menggunakan air untuk kebersihan adalah bagian dari budaya dan ajaran agama. Sedangkan di negara-negara Barat, penggunaan tisu toilet telah menjadi norma yang sulit diubah.
Jika menilik sejarah, tradisi membersihkan diri setelah buang air sudah berlangsung sejak peradaban kuno. Menariknya, metode yang digunakan sangat bervariasi, tergantung pada apa yang tersedia di lingkungan sekitar. Ada yang menggunakan air, dedaunan, rumput, batu, bahkan tangan kosong. Masyarakat Romawi Kuno, misalnya, tercatat menggunakan batu atau spons yang dibasahi sebagai alat pembersih. Sementara di wilayah Timur Tengah, penggunaan air sudah menjadi bagian dari ajaran agama sejak dahulu kala.
Hal yang mungkin mengejutkan adalah fakta bahwa tisu toilet pertama kali bukan muncul di dunia Barat, melainkan di Tiongkok. Berdasarkan riset berjudul “Toilet hygiene in the classical era” (2012), penduduk China pada masa lampau sudah mengembangkan tisu sebagai evolusi dari penemuan kertas. Tisu tersebut semula bukan ditujukan secara khusus untuk cebok, tetapi lambat laun digunakan untuk berbagai keperluan termasuk kebersihan setelah buang air.