Para ayah mungkin ingin lebih dekat dengan anak, namun tidak tahu caranya karena mereka sendiri tidak pernah diajarkan bagaimana. Mereka dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap kelembutan sebagai kelemahan. Akibatnya, hubungan antara ayah dan anak menjadi kaku dan formal, kurangnya keintiman emosional. Anak-anak, terutama anak laki-laki, bisa meniru pola ini dan meneruskannya ke generasi berikutnya, menciptakan siklus fatherless wound yang terus berlanjut.
Faktor Ekonomi dan Beban Kerja yang Berat
Faktor ekonomi juga punya andil besar. Di era modern, tuntutan pekerjaan semakin tinggi. Banyak ayah harus bekerja lebih keras dan lebih lama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beban kerja yang berat ini sering kali mengorbankan waktu berkualitas yang seharusnya bisa dihabiskan bersama anak-anak. Pulang kerja dalam keadaan lelah membuat mereka sulit untuk berinteraksi secara aktif.
Tekanan untuk menjadi pencari nafkah yang sukses juga bisa membuat para ayah merasa bahwa nilai diri mereka hanya diukur dari seberapa banyak uang yang bisa mereka hasilkan. Fokus yang berlebihan pada materi ini bisa mengaburkan pentingnya kehadiran emosional. Anak-anak mungkin mendapatkan semua kebutuhan fisik, tetapi mereka tidak mendapatkan figur ayah yang hadir untuk bermain, mendengarkan, dan memberikan bimbingan moral. Kondisi ini menyoroti ironi bahwa kehadiran fisik yang terpaksa dipertaruhkan untuk memenuhi kebutuhan materi, justru menciptakan kekosongan emosional yang lebih dalam.
Perceraian dan Keluarga yang Tidak Utuh
Tingginya angka perceraian juga merupakan penyebab nyata dari ketiadaan ayah secara fisik dan emosional. Setelah perceraian, banyak anak tinggal dengan ibu mereka, dan akses ke ayah menjadi terbatas. Meski ada hak asuh bersama, sering kali hubungan antara anak dan ayah tidak bisa seakrab saat tinggal satu rumah. Ketidakstabilan dalam hubungan orang tua, konflik yang terjadi, dan perasaan ditinggalkan bisa memperdalam luka emosional.