Kebiasaan minum teh manis setelah makan sudah mengakar kuat di banyak budaya, termasuk di Indonesia. Rasanya yang menyegarkan seringkali menjadi penutup sempurna untuk hidangan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran dan mitos yang menyebutkan bahwa kebiasaan ini tidak sehat, terutama karena adanya anggapan bahwa teh manis dapat menghambat penyerapan nutrisi atau memicu masalah kesehatan lainnya. Lantas, bagaimana kebenarannya? Apakah ada alasan ilmiah yang kuat di balik larangan ini?
Kandungan Tanin dan Penyerapan Zat Besi
Salah satu argumen paling umum yang mendasari kekhawatiran ini adalah keberadaan tanin dalam teh. Tanin adalah senyawa alami golongan polifenol yang memberikan rasa sepat pada teh. Senyawa ini memang dikenal dapat mengikat zat besi non-heme (zat besi yang berasal dari tumbuhan, seperti bayam, tahu, atau kacang-kacangan) di saluran pencernaan, sehingga mengurangi kemampuannya untuk diserap oleh tubuh. Bagi individu yang sangat rentan terhadap defisiensi zat besi, seperti penderita anemia, wanita hamil, atau vegetarian/vegan yang sangat bergantung pada sumber zat besi non-heme, konsumsi teh yang berlebihan segera setelah makan berat yang kaya zat besi non-heme mungkin perlu diperhatikan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dampak ini tidak berlaku universal untuk semua jenis zat besi. Penyerapan zat besi heme (yang berasal dari produk hewani seperti daging merah, unggas, dan ikan) tidak terlalu terpengaruh oleh tanin. Selain itu, tingkat penghambatan juga bervariasi tergantung pada konsentrasi tanin dalam teh, jumlah teh yang diminum, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Konsumsi sesekali atau dalam jumlah wajar umumnya tidak menimbulkan masalah serius bagi individu sehat dengan pola makan seimbang.