Banyak ahli psikologi menilai bahwa tren flexing lahir dari tekanan sosial yang semakin besar akibat media sosial. Algoritma mendorong konten yang menarik perhatian visual, sehingga gaya hidup mewah lebih cepat viral. Ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan pencapaian harus ditampilkan lewat barang mahal atau pengalaman eksklusif.
“Flexing itu sering kali bukan cerminan kekayaan, tapi respons atas tekanan untuk terlihat berhasil,” ujar Rina, psikolog yang kerap menangani kasus kecemasan akibat media sosial.
Realita: Utang Konsumtif Demi Citra Diri
Di balik unggahan gemerlap, banyak cerita soal cicilan, paylater, hingga utang kartu kredit yang menumpuk. Tak sedikit orang memaksakan gaya hidup mewah demi citra diri, meski secara finansial justru terjebak dalam lilitan utang.
“Mereka rela hidup pas-pasan asalkan feed Instagram terlihat kaya. Ini sangat berbahaya,” lanjut Rina.
Dampak Sosial: Kesenjangan dan Krisis Identitas
Tren ini juga memperlebar jurang sosial di masyarakat. Anak muda yang melihat unggahan tersebut bisa merasa tertinggal, gagal, bahkan tidak berharga. Jika tidak disaring, flexing dapat memicu rasa iri, rendah diri, dan membuat standar kebahagiaan menjadi tidak realistis.