Langkah ini dipandang oleh sejumlah analis sebagai keputusan yang sulit tapi tak terhindarkan. Dalam situasi di mana margin keuntungan terus menyempit dan persaingan di industri fesyen makin ketat, efisiensi menjadi kata kunci.
Perubahan Kepemimpinan dan Harapan Baru di Tengah Krisis
Joshua Schulman, CEO Burberry yang baru menjabat sejak Juli 2024, menjadi tokoh kunci dalam menghadapi badai ini. Menggantikan Jonathan Akeroyd, Schulman datang dengan misi besar: mengembalikan kejayaan Burberry dengan strategi yang lebih fokus dan relevan terhadap kebutuhan pasar saat ini.
Dalam pernyataannya, Schulman mengaku optimis meski mengakui bahwa perusahaan tengah berada pada masa yang menantang. "Walau kami beroperasi dalam kondisi makroekonomi yang sulit dan masih dalam tahap awal pemulihan, saya lebih optimis dari sebelumnya bahwa hari-hari terbaik Burberry akan segera tiba," ujarnya dengan nada percaya diri.
Schulman juga mengungkapkan fokus barunya, yakni memperkuat segmen pakaian luar, terutama mantel panjang khas Burberry yang selama ini menjadi simbol gaya klasik modern. Ia berharap, strategi ini dapat mengembalikan minat pasar dan menjaring pelanggan baru, khususnya dari kalangan muda dan kelas menengah ke atas.
Dampak Global: Lesunya Permintaan dari China dan Ketidakpastian Geopolitik
Salah satu faktor utama yang mendorong krisis Burberry adalah menurunnya permintaan dari pasar China, yang selama ini menjadi salah satu penopang utama industri fesyen mewah dunia. Konsumen kelas atas di negara tersebut menunjukkan kecenderungan menahan belanja, baik karena faktor ekonomi domestik yang melambat maupun ketidakpastian geopolitik yang membuat pasar global lebih hati-hati.
Burberry, yang selama ini sangat bergantung pada pasar Asia, kini dihadapkan pada tantangan untuk melakukan diversifikasi pasar serta penyesuaian strategi bisnis agar tidak terlalu rentan terhadap satu wilayah saja.