Mulai dari bencana alam, kelaparan, kemiskinan, hingga konflik bersenjata, setiap hari kita dibanjiri permintaan untuk berempati dan bertindak. Namun, ada satu fenomena psikologis yang sering kali muncul sebagai respons terhadap bombardir ini: altruism fatigue. Ini adalah kondisi di mana seseorang merasa lelah secara emosional atau bahkan mati rasa akibat paparan konstan terhadap penderitaan orang lain, yang pada akhirnya mengurangi kemauan atau kemampuan untuk membantu.
Perasaan Terbebani dan Kelelahan Emosional
Altruism fatigue tidak sama dengan kelelahan biasa. Ini adalah jenis kelelahan yang spesifik, yang berakar pada kelelahan emosional dan mental yang muncul dari rasa empati yang berlebihan dan terus-menerus. Ketika kita melihat berita tentang anak-anak kelaparan di belahan dunia lain, korban bencana yang kehilangan segalanya, atau individu yang menderita, otak kita secara alami memproses informasi ini. Empati yang kita rasakan memicu respons emosional, seperti sedih, cemas, atau marah. Namun, jika paparan ini tidak ada hentinya, sistem emosional kita bisa kewalahan.
Respons yang berlebihan ini bisa memicu perasaan terbebani, seolah-olah seluruh beban penderitaan dunia ada di pundak kita. Kondisi ini membuat kita merasa tidak berdaya, karena masalah yang disajikan terasa begitu besar dan kompleks, melampaui kemampuan individu untuk menyelesaikannya. Perasaan tidak berdaya ini, jika berlanjut, bisa berujung pada depresi atau apatis. Kita mulai menjauhkan diri dari berita atau cerita yang menyedihkan, bukan karena kita tidak peduli, melainkan sebagai mekanisme pertahanan diri untuk melindungi kesehatan mental kita dari rasa sakit yang tak terkelola.
Jenuhnya Diri Akibat Compassion Overload
Salah satu penyebab utama altruism fatigue adalah compassion overload atau kelebihan beban kasih sayang. Otak kita tidak dirancang untuk terus-menerus berempati pada skala global. Awalnya, kita mungkin tergerak untuk berdonasi, menjadi sukarelawan, atau menyebarkan kesadaran. Namun, ketika satu krisis belum selesai, krisis baru sudah muncul, dan yang lainnya menyusul. Penderitaan dari berbagai sumber—mulai dari konflik di Timur Tengah, kelaparan di Afrika, hingga masalah kesehatan mental di lingkungan terdekat—menumpuk dalam pikiran kita.