Seiring dengan pertumbuhan industri fashion, terutama di negara-negara maju seperti China, permintaan terhadap barang fashion mewah semakin meningkat. Namun, terdapat tren menarik di kalangan generasi Z di China, yang mulai memilih "dupe" atau barang tiruan dari merek-merek ternama tanpa label atau logo, seperti Hermes International SCA. Fenomena ini muncul sebagai ekspresi penolakan terhadap merek dan label terkenal yang sebelumnya sangat diidolakan oleh konsumen China.
Fenomena "dupe" atau "pingti" ini mencerminkan perubahan perilaku belanja di kalangan generasi muda China. Mereka lebih memilih untuk membeli produk-produk fashion dengan harga yang lebih terjangkau namun menawarkan kualitas yang relatif tinggi, meskipun tanpa logo yang mengidentifikasi merek tersebut.
Berdasarkan data dari firma analitik Hangzhou Zhiyi Technology Co., tercatat bahwa penjualan produk dupe mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam kurun waktu 12 bulan hingga bulan Juli. Sebaliknya, beberapa merek asing yang menjadi sasaran produk dupe mengalami pertumbuhan yang lebih lambat atau bahkan mengalami penurunan penjualan di platform-platform e-commerce dominan China, seperti Taobao dan Tmall milik Alibaba Group Holding Ltd.
Fenomena ini dapat diartikan sebagai respons terhadap kondisi ekonomi yang tidak stabil, di mana konsumen China lebih memilih mencari nilai yang lebih baik dalam setiap pembelian yang mereka lakukan. Dalam situasi di mana ketidakpastian ekonomi mengancam kestabilan keuangan, keputusan konsumen untuk mencari alternatif lebih murah menjadi cerminan dari perubahan perilaku belanja yang lebih rasional.
Perusahaan lokal di China mulai menawarkan produk-produk fashion dengan kualitas yang dijanjikan setara dengan merek-merek ternama, namun dengan harga yang lebih terjangkau. Hal ini tidak hanya mempengaruhi penjualan merek asing, tetapi juga dapat menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan industri barang mewah di China.