Enadimsa kemudian tertarik pada Blok 8 di Tanjung, Kalimantan Selatan, yang diketahui memiliki cadangan batu bara berkualitas tinggi berdasarkan survei geologi Belanda pada 1930-an dan pengeboran Pertamina pada 1960-an. Saat itu, Blok 8 dianggap lokasi terpencil dan belum ada perusahaan yang berminat. Nama “Adaro” sendiri diambil sebagai penghormatan kepada keluarga Adaro, tokoh berpengaruh dalam sejarah Spanyol.
Kontrak antara pemerintah Indonesia dan Enadimsa ditandatangani pada 2 November 1982, dan kegiatan eksplorasi berjalan dari 1983 hingga 1989. Namun, kepemilikan Adaro kemudian beralih ke konsorsium Australia-Indonesia yang mengakuisisi 80 persen saham dari Enadimsa pada 1989. Di era 1990-an, pemilik baru mengembangkan infrastruktur dengan membangun jalan tambang sepanjang 80 km di sebelah barat Sungai Barito untuk mendukung pengangkutan batu bara.
Tambang Paringin pun dibuka pada 1991, dengan menemukan batu bara berkualitas sulfur tinggi yang kemudian dikenal sebagai Envirocoal. Tambang ini berkembang menjadi salah satu tambang tunggal terbesar di belahan bumi selatan, dengan produksi yang tumbuh pesat dari 1 juta ton pada 1992 hingga kapasitas besar sekarang.