Pemerintah sedang merancang peraturan baru terkait dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja. Namun rencana ini menuai kritik dan penolakan dari para pekerja yang khawatir akan semakin terbebani secara ekonomi.
Ekonom, pakar jaminan sosial hingga pakar hukum ketenagakerjaan sepakat bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menerapkan iuran tambahan wajib. Masyarakat kelas menengah, yang kemungkinan menjadi target kebijakan ini, sedang mengalami tekanan yang mengakibatkan sekitar 9,5 juta orang turun kelas dalam lima tahun terakhir.
“Ada semakin banyak beban iuran tambahan yang diberikan kepada pekerja, tapi pemerintah tidak memperhatikan laju pertumbuhan upah. Jadi upah riil pekerja akan berkurang dan daya beli akan turun,” kata Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC), Andriko Otang.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan peraturan pemerintah soal ini masih dirancang, namun disebutkan pula bahwa dana pensiun wajib ini arahnya akan disalurkan melalui lembaga pengelola nonbank berupa Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK). Menurut pengamat jaminan sosial Timboel Siregar, itu berarti iuran dana pensiun wajib ini nantinya tidak akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK).
“Kita sudah punya jaminan pensiun yang dikelola BPJS-TK, itu saja belum maksimal dilaksanakan, pemerintah malah memunculkan program baru yang bersifat wajib,” kata Timboel.
Bagi sejumlah pekerja, menambah iuran dana pensiun bukanlah prioritas saat ini karena manfaatnya baru terasa puluhan tahun lagi. Saat ini, mereka tertekan oleh kenaikan upah yang tak mengejar laju inflasi, ancaman PHK yang mengintai, dan beragam masalah jaringan pengaman sosial yang sudah berjalan.
“Potongan-potongan itu akan semakin membunuh kenaikan gaji saya,” kata Abi, bukan nama sebenarnya, seorang pekerja kelas menengah berusia 31 tahun di Jakarta.
Kritik senada juga disampaikan Filani, 32, yang punya masalah dengan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) serta Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK miliknya. Menurutnya, pemerintah semestinya membereskan masalah ini dulu ketimbang mewajibkan program baru.
“Masih ada perusahaan yang menunggak atau enggak bayar iuran JHT dan JP. Saya kerja hampir empat tahun, gaji sudah naik tiga kali, tapi ternyata yang dilaporkan perusahaan ke BPJS-TK masih UMR terus jadi nilainya segitu-gitu aja,” kata Filani.
Sementara itu, ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengingatkan pemerintah untuk memberi napas kepada kelas pekerja. Kebijakan semacam ini, menurut Esther, hanya akan memicu spekulasi bahwa pemerintah berupaya memaksimalkan pemasukan dari masyarakat di tengah ruang fiskal APBN yang tambah sempit.
“Dana pensiun ini jangka panjang jatuh temponya, sehingga masyarakat diminta iuran dulu dan nanti bisa menjadi sumber pembiayaan jangka panjang,” kata Esther.
Menurut OJK, rencana ini adalah tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Regulasi ini mengatur pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib.
Pasal 189 ayat 4 UU itu menyebutkan bahwa program pensiun tambahan wajib ini dapat dikenakan bagi pekerja dengan penghasilan tertentu. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menuturkan manfaat yang diterima para pensiunan saat ini masih relatif sangat kecil.
“Manfaat itu hanya sekitar 10-15% dari penghasilan terakhir yang diterima pada saat aktif bekerja,” tutur Ogi dalam konferensi pers pada Jumat (06/09).
“Sementara upaya untuk peningkatan perlindungan hari tua juga memajukan kesejahteraan umum dari ILO Organisasi Buruh Internasional itu ada standar yang ideal, itu adalah 40%,” sambungnya.