Di panggung teater, dengan riasan wajah yang mencolok, kostum yang gemerlap, dan gerakan yang dilebih-lebihkan, sebuah tradisi seni berusia berabad-abad terus memikat penonton. Inilah Kabuki Jepang, bentuk teater klasik yang bukan hanya sekadar pertunjukan, melainkan sebuah dramatisasi hidup yang penuh warna, kaya akan emosi, estetika, dan tradisi. Kabuki adalah perpaduan unik antara drama, tarian, musik, dan keindahan visual yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO.
Asal Mula yang Penuh Dinamika
Sejarah Kabuki dimulai pada awal abad ke-17 di Kyoto, Jepang. Bermula dari seorang perempuan bernama Izumo no Okuni, seorang miko (pelayan kuil Shinto), yang mulai menampilkan tarian dan sketsa dramatis di tepi sungai. Pertunjukan awalnya, yang seringkali provokatif dan sensual, dengan cepat mendapatkan popularitas.
Namun, karena sifatnya yang seringkali diasosiasikan dengan prostitusi dan perkelahian, pemerintah melarang perempuan tampil di Kabuki pada tahun 1629. Peran ini kemudian diambil alih oleh laki-laki muda (wakashu kabuki), yang juga akhirnya dilarang karena alasan serupa. Akhirnya, pada tahun 1653, lahirlah Yaro Kabuki—Kabuki yang hanya menampilkan aktor laki-laki dewasa. Sejak saat itu, tradisi aktor laki-laki (onnagata) yang memerankan karakter wanita menjadi salah satu ciri khas Kabuki yang paling terkenal.