Rencana Kementerian Kesehatan menyeragamkan kemasan rokok ditentang keras sejumlah pihak, termasuk serikat pekerja dan asosiasi produsen rokok serta kementerian lainnya. Kerugian ekonomi dari kebijakan ini disebut bisa menyentuh ratusan triliun rupiah. Namun, biaya kesehatan karena rokok pun terhitung tak kalah besar. Bagaimana duduk perkaranya?
Kementerian Kesehatan tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang utamanya bakal mengatur standardisasi kemasan rokok konvensional dan elektronik.
Mudahnya, melalui peraturan ini, seluruh kemasan rokok konvensional dan elektronik yang dijual di pasaran bakal memiliki bentuk, ukuran, desain, dan warna seragam. Serikat pekerja khawatir kebijakan ini, plus sejumlah pembatasan lain, akan membuat penjualan dan produksi rokok menurun sehingga muncul risiko pemecatan.Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyebut kebijakan ini melanggar hak merek pengusaha dan hak konsumen, serta bakal memicu maraknya peredaran rokok ilegal.
Kementerian Perindustrian, Perdagangan, dan Keuangan masing-masing pun telah menyuarakan kegelisahannya, termasuk soal dampak negatif ke industri dalam negeri dan perdagangan internasional, serta tantangan dari sisi pengawasan di lapangan.
Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan penyeragaman kemasan rokok bisa menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun.
Namun, sebuah riset yang didukung Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2019 menunjukkan biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas akibat penyakit terkait rokok menghasilkan beban ekonomi senilai Rp184,36 triliun hingga Rp410,76 triliun.
Rofiqoh Nur Ashriany telah jadi perokok aktif sejak 2013, ketika ia berusia 19 tahun. Saat itu, ia sedang kuliah komunikasi semester kedua. Tugas-tugas mulai menumpuk, sehingga ia jadi rajin bergadang untuk mengejar tenggat pengumpulan. Agar tetap terjaga, ia lantas berkawan dengan rokok dan kopi.
Awalnya, Rofiqoh bisa menghabiskan sebungkus keretek dengan merek berembel-embel “mild” dalam tiga hari. Tak butuh waktu lama sebelum ia kecanduan. Seingatnya, saat kuliah semester ketiga, konsumsi rokoknya telah mencapai dua bungkus per hari.
“Pokoknya pas tangan enggak tahu mau ngapain, ya udah, jadinya ngerokok,” katanya.
Rofiqoh paling banyak merokok saat nongkrong dan nugas. Paling parah saat ia mengerjakan skripsi. Tiga hari jelang tenggat, ia mengaku tidak tidur dan hanya berkutat dengan laptop sambil merokok.
“Waktu itu, sehari bisa lima bungkus,” ujar Rofiqoh.
Sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, frekuensi merokoknya memang berkurang jadi “hanya” sebungkus sehari. Namun, itu karena Rofiqoh hanya bisa merokok di jam istirahat dan setelah pulang kantor. Pengecualian ada saat awal pandemi Covid-19, ketika ia bekerja jarak jauh dari rumah. Saat itu, ia kembali ke mode dua bungkus sehari.
Rofiqoh paham betul merokok tidak baik untuk kesehatan. Namun, ia telanjur kecanduan dan merasa rokok sudah jadi kebutuhan. Apalagi, sekalinya ketemu satu merek rokok yang pas, susah baginya untuk berhenti atau sekadar pindah ke lain hati.
Sejak 2016 atau 2017, Rofiqoh mulai mengonsumsi satu merek keretek tertentu, juga dengan embel-embel “mild”. Dan, hingga kini, ia tak pernah berpaling lagi.
“Perokok tuh begitu, loyal sama satu produk,” katanya.
Karena itu, saat mendengar rencana pemerintah menyeragamkan bentuk dan desain kemasan rokok untuk menekan jumlah perokok di Indonesia, Rofiqoh sontak berkata, “Enggak ngaruh.”
“Enggak akan ada perubahan menurut gue,” kata Rofiqoh.
“Ini tuh masih Indonesia. Maksudnya, kesadaran orang buat tidak merokok itu masih kecil.”
Kementerian Kesehatan kini sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik. Ia adalah turunan dari Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 17/2023 tentang kesehatan.
RPMK ini utamanya bakal mengatur standardisasi kemasan rokok konvensional dan elektronik, termasuk dalam hal bentuk dan desain, penggunaan gambar dan tulisan, serta larangan pencantuman informasi menyesatkan di kemasan.
“Kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apa pun selain yang ditetapkan dalam peraturan menteri ini,” begitu bunyi salah satu ayat di RPMK tersebut, yang bisa ditemukan di situs Kementerian Kesehatan.
Mudahnya, bila peraturan ini terbit, seluruh kemasan rokok konvensional dan elektronik yang dijual di pasaran bakal memiliki bentuk, ukuran, desain, dan warna seragam. Walhasil, yang membedakan satu produk dengan produk lainnya hanya nama merek rokok dan produsen serta kode produksinya, yang juga mesti dicantumkan dengan bentuk dan ukuran huruf seragam.
Dengan begitu, perusahaan rokok tidak lagi bisa menggunakan identitas mereknya yang khas di kemasan seperti logo, warna, dan juga tipografi. Yang bakal ditonjolkan di kemasan adalah peringatan kesehatan dengan “gambar seram”, yang wajib berukuran 50% dari luas permukaan kemasan rokok konvensional dan elektronik.
Ketentuan ukuran 50% ini telah diatur dalam PP No. 28/2024 yang terbit Juli lalu. Sebelum PP itu terbit, pemerintah hanya mewajibkan produsen rokok konvensional untuk menggunakan peringatan kesehatan bergambar, dengan ukuran 40% dari luas permukaan kemasan.
Keputusan memperbesar ukuran peringatan kesehatan bergambar di kemasan rokok diambil setelah membandingkan penerapan kebijakan serupa di negara-negara lain, utamanya yang tergabung di ASEAN dan G20, kata Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau di Kementerian Kesehatan.
Vietnam dan Filipina, misalnya, kini mewajibkan “gambar seram” berukuran 50% dari kemasan rokok. Sementara itu Singapura, Thailand, India, Australia, dan Kanada mewajibkan ukuran 75% atau lebih.
“Peringatan kesehatan bergambar dievaluasi dan dapat dilakukan perubahan paling lambat 24 bulan sekali,” seperti tertulis di RPMK tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik.