Penyebaran besar-besaran warga Tionghoa juga dipengaruhi oleh dua gelombang migrasi besar dalam sejarah modern, sebagaimana dicatat oleh sejarawan China, Zhuang Guotu. Kedua gelombang ini menjadi titik balik dari diaspora yang terjadi di berbagai negara.
Gelombang pertama terjadi pada abad ke-16. Saat itu, ekspansi kolonial Eropa tengah mencapai puncaknya dan kebutuhan akan tenaga kerja meningkat tajam. Salah satu contohnya adalah kebijakan Gubernur Jenderal VOC, J.P. Coen, yang secara khusus mendatangkan warga Tionghoa ke Batavia (kini Jakarta). Alasan utamanya? Orang Tionghoa dikenal gigih, pekerja keras, dan piawai dalam berdagang—kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan ekonomi koloni Belanda.
Gelombang kedua berlangsung pada pertengahan abad ke-19. Kali ini, penyebabnya adalah penghapusan sistem perbudakan di banyak negara Barat. Dampaknya, muncul permintaan tinggi akan buruh kontrak, dan banyak warga China yang memilih untuk merantau demi mencari penghidupan yang lebih baik. Kondisi politik yang tidak stabil di China kala itu, ditambah bencana alam seperti banjir dan kelaparan, turut mempercepat laju migrasi ini.
Jejak Diaspora: Dari Pecinan hingga Pengaruh Global
Hasil dari proses migrasi panjang ini bisa kita lihat hingga hari ini. Di hampir setiap kota besar dunia, kita dapat menemukan kawasan pecinan atau Chinatown—mulai dari San Francisco, London, Sydney, sampai Jakarta dan Medan. Wilayah-wilayah ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga pusat budaya, ekonomi, dan sejarah yang mencerminkan kekayaan tradisi Tionghoa.
Keberadaan komunitas ini juga menunjukkan betapa tangguh dan adaptifnya etnis Tionghoa dalam menghadapi berbagai tantangan di tanah rantau. Mereka mampu mempertahankan identitas budaya sembari tetap berkontribusi secara aktif dalam masyarakat lokal. Tak heran jika banyak dari mereka yang sukses meniti karier di bidang perdagangan, kuliner, pendidikan, bahkan politik.