Namun, banyak pihak yang menganggap bahwa kebijakan ini justru diskriminatif dan tidak berdasarkan fakta. Studi yang dilakukan oleh RAND Corporation pada 2016 menunjukkan bahwa keberadaan anggota transgender di militer hanya memberikan dampak minimal pada anggaran dan operasional. Selain itu, sejumlah pakar menyebut bahwa kebijakan inklusi justru memperkuat solidaritas dan moral pasukan.
- Reaksi dari Komunitas LGBTQ+
Kebijakan ini dianggap sebagai pukulan berat bagi komunitas LGBTQ+, terutama bagi warga transgender yang telah lama berjuang untuk diterima dan diakui dalam institusi militer. Organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Campaign (HRC) menyebut larangan ini sebagai bentuk diskriminasi yang berbahaya dan melukai prinsip-prinsip kebebasan serta kesetaraan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Amerika Serikat.
“Donald Trump sekali lagi menunjukkan bahwa ia tidak peduli pada inklusi dan keberagaman,” ujar Joni Madison, presiden HRC. Ia juga menekankan bahwa larangan ini berpotensi memperburuk tantangan perekrutan yang sudah dihadapi militer AS dalam beberapa tahun terakhir.
- Tantangan Perekrutan dan Efek Jangka Panjang
Militer AS selama ini telah berjuang menghadapi kesulitan dalam merekrut personel baru, dengan laporan terbaru menunjukkan bahwa hanya 23 persen generasi muda Amerika yang memenuhi syarat untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. Larangan transgender ini dikhawatirkan akan semakin mempersempit kelompok yang bisa direkrut, sekaligus menciptakan citra militer yang eksklusif dan tidak ramah terhadap keberagaman.