Menurut Achmad Sunjayadi dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara (2018), sesaat setelah kepala Pieter terjatuh ke tanah, orang-orang yang menonton spontan berteriak, “Hidung belang!” sebagai simbol hinaan terakhir.
Makna yang Berkembang dari Masa ke Masa
Sejak saat itu, istilah “hidung belang” menyebar luas dan mulai digunakan masyarakat sebagai sebutan bagi pria yang melanggar norma dalam hubungan asmara. Awalnya, istilah ini merujuk secara spesifik kepada mereka yang melakukan tindakan asusila atau hubungan terlarang.
Namun dalam perkembangannya, makna “hidung belang” menjadi lebih luas. Kini istilah ini dilekatkan pada pria yang gemar bergonta-ganti pasangan, mempermainkan perempuan, atau tidak setia dalam hubungan.
Cerita tragis Pieter dan Sara menjadi pelajaran sejarah yang menyimpan pesan mendalam. Cinta yang tak mendapat tempat dalam norma sosial dan kekuasaan bisa berujung pada hukuman kejam. Sekaligus, kisah ini membuktikan bahwa istilah populer yang kita gunakan hari ini kerap memiliki akar historis yang kelam dan penuh luka.
Kesimpulan
Istilah "hidung belang" bukanlah sekadar idiom modern tanpa arti. Di balik kata-kata itu tersimpan tragedi cinta dua remaja Batavia yang berakhir di tiang eksekusi. Kisah mereka adalah gambaran tentang kerasnya hukum moral di masa kolonial, dan bagaimana sejarah bisa hidup dalam bahasa yang kita gunakan sehari-hari