Tampang.com | Asia Tenggara sedang berada di ambang perubahan besar dalam sejarah digitalnya. Dengan lebih dari 460 juta pengguna internet dan proyeksi ekonomi digital yang diperkirakan melampaui US$300 miliar pada tahun 2025, kawasan ini menjelma menjadi salah satu pusat inovasi global dalam bidang teknologi keuangan (fintech), embedded finance, hingga ekosistem konsumen berbasis digital.
Namun, di balik laju digitalisasi yang pesat, muncul tantangan baru yang tidak bisa diabaikan: kebutuhan akan data yang lebih akurat, bersih, dan kontekstual. Di sinilah peran identity intelligence menjadi sangat penting untuk membangun masa depan keuangan digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Menurut Carey Anderson, CEO 1datapipe, kemajuan teknologi algoritma bukanlah masalah utama di Asia Tenggara. Justru kualitas data lah yang menjadi kunci. Carey menegaskan bahwa untuk mendukung transformasi digital yang inklusif, diperlukan infrastruktur identity intelligence yang kuat—sebuah gabungan antara data pribadi yang terverifikasi, sinyal perilaku, serta wawasan kontekstual.
Keterbatasan Biro Kredit Tradisional di Asia Tenggara
Carey memaparkan bahwa sebagian besar wilayah Asia Tenggara masih tergolong underbanked atau minim akses ke layanan keuangan formal. Biro kredit tradisional di kawasan ini sering kali gagal memberikan cakupan yang memadai, kedalaman informasi, dan data real-time yang dibutuhkan untuk kebutuhan modern, seperti penilaian kredit berbasis AI atau segmentasi pelanggan yang dinamis.
Di tengah upaya fintech dan lembaga keuangan membangun model AI yang lebih canggih, tantangan terbesar ternyata bukan pada kecanggihan algoritma, melainkan pada kualitas data input yang mereka miliki. Tanpa kumpulan data identitas yang terstruktur dan valid, teknologi canggih pun akan kehilangan efektivitasnya, terutama di pasar yang fragmentaris atau minim digitalisasi.