Namun, potensi bahaya tetap menghantui. Tanpa intervensi berkelanjutan, PPATK memproyeksikan perputaran uang dari judi online bisa mencapai Rp 1.200 triliun pada akhir 2025. Ini bukan sekadar angka; melainkan ancaman nyata terhadap stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Fakta lain yang sangat memprihatinkan adalah keterlibatan anak-anak dalam praktik judi online. Data PPATK menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2025, terdapat lebih dari Rp 2,2 miliar deposit yang dilakukan oleh anak-anak berusia 10 hingga 16 tahun. Sementara pemain berusia 17–19 tahun menyumbang Rp 47,9 miliar, dan kelompok usia 31–40 tahun mencatatkan deposit tertinggi sebesar Rp 2,5 triliun.
Lebih dari 71% pelaku judi online tercatat memiliki penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan dan terjerat pinjaman non-perbankan, seperti pinjol dan koperasi ilegal. Tahun 2023, dari total 3,7 juta pemain, sebanyak 2,4 juta di antaranya memiliki pinjaman. Angka ini melonjak drastis pada tahun 2024 menjadi 8,8 juta pemain, dengan 3,8 juta di antaranya dalam jeratan pinjaman yang sama.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan bahwa angka-angka tersebut mewakili dampak sosial yang sangat serius. Judi online tak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga menyumbang pada konflik rumah tangga, penyebaran prostitusi, dan ketergantungan terhadap pinjaman online.
Menghadapi situasi ini, pemerintah menyusun berbagai strategi konkret. Salah satu langkah strategis adalah penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh Komdigi untuk mendeteksi dan memblokir konten berbau judi secara real time. Edukasi digital pun digencarkan melalui literasi menyeluruh kepada masyarakat guna meningkatkan pemahaman tentang bahaya tersembunyi di balik dunia digital.
Lebih lanjut, Presiden Prabowo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang tata kelola platform digital untuk perlindungan anak di ruang digital. Regulasi ini menegaskan bahwa akses digital untuk anak di bawah usia 18 tahun akan dibatasi, dan baru diizinkan masuk sepenuhnya pada usia 16 tahun. Kebijakan ini diharapkan mampu menekan laju kejahatan digital yang menargetkan anak-anak.